Berita dan Pengumuman

Sudah Relevankah Sistim Pendidikan Indonesia?

  • Di Publikasikan Pada: 05 Nov 2022
  • Oleh: Admin Pendidikan Islam | Pascasarjana

Webinar seri 3 dari Program Pascasarjana UMSurabaya bertema Memulihkan Sekolah, Memulihkan Manusia (Memulihkan Kembali Falsafah Pendidikan Kita), diadakan via Zoom Meeting pukul 10.00 wib sampai selesai, Rabu (2/9/2020).

Dr. M. Arfan Mu’ammar, M.Pd.I., Sekretaris Pascasarjana UMSurabaya sebagai host webinar. Lalu sebagai moderator Fazlurrahman Hadi, Lc, M.Pd.I., Sekprodi S2 Pendidikan Islam UMSurabaya. Sedangkan sambutan oleh Prof. Dr. H. Abd Hadi, M.Ag, Direktur Program Pascasarjana UMSurabaya dan sebagai pemateri adalah Dr. Haidar Bagir, Direktur Utama Kelompok Mizan.

“Problem persekolahan sekarang adalah irrelevansi yaitu kurangnya relevansi persekolahan dibanding dengan kebutuhan anak-anak di sekolah. Makanya saya katakan sekarang bahwa schooling in our country is a bit overrated, kita memberi nilai terlalu tinggi pada persekolahan kita. Bahwa adanya pandemi yang menyebabkan kendala tidak menyebabkan kerugian yang dikira orang-orang karena adanya irrelevansi itu,” kata pria kelahiran Solo, 20 Februari 1957 itu. 

Haidar melanjutkan seharusnya sekolah tidak menjejalkan knowledge tapi mendidik anak agar mempunyai kemampuan untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuan yang diperlukannya sehingga ilmu berkembang terus. “Oleh karena itu PBB mendengung-dengungkan mengenai Lifelong Education yang hanya mungkin terwujud jika anak dibekali untuk mencari pengetahuan, mencintai upaya mencari pengetahuan, dan tahu caranya mencari ilmu pengetahuan serta mengkonstruksi ilmu pengetahuan.”

Penulis buku Memulihkan Sekolah Memulihkan Manusia (Memulihkan Kembali Falsafah Pendidikan Kita) yang terbit tahun 2019 itu lantas melontarkan pertanyaan yang menjadi gambaran nyata dari persekolahan selama ini, “Buat apa anak menghafalkan tinggi net voli? Berapa kali dalam hidupnya dia akan memasang net voli? Berapa panjang dan lebar lapangan basket? Kapan dia menjadi tukang lapangan basket? Dan lain sebagainya yang mana itu tidak semuanya dibutuhkan anak tersebut.”

Pada guru agama sekolah Islam miliknya Haidar mengatakan bahwa “Mengajar Ilmu Tajwid Haram”. Kalimat provoke itu dia katakan untuk memecah mindset orang. Meski banyak yang mengira pendiri Yayasan Lazuardi Hayati yang menyelenggarakan pendidikan dari pra taman kanak-kanak (TK) hingga Sekolah Menengah Pertama di Jakarta itu sebagai orang liberal karena mengharamkan ilmu Tajwid.

Lantas dia lanjutkan dengan kalimat penjelas bahwa mengajarkan ilmu Tajwid untuk anak SD, SMP, SMA itu hukumnya haram tapi mengajarkan cara mengaji dengan Tajwid yang benar itu hukumnya wajib. Haidar sengaja memprovokasi begitu karena banyak guru agama mengidentikkan cara membaca alquran secara Tajwid yang benar dengan menguasai ilmu Tajwid. Padahal beda antara membaca alquran secara Tajwid yang benar dengan menguasai ilmu Tajwid. Sehingga tidak sedikit guru agama mengukur kemampuan mengaji anak dengan hafalan ilmu Tajwid.

“Inilah kenyataannya. Menjejalkan informasi itu terlalu banyak sehingga anak ngap-ngapan kalau kata orang Betawi. Tidak bisa bernapas,” kata Ayah dari Muhammad Irfan, Mustafa Kamil, Ali Riza, dan Syarifa Rahima.

Padahal menurutnya, tujuan Pendidikan menurut Undang-Undang sistim Pendidikan Nasional adalah melahirkan manusia Indonesia seutuhnya. Haidar kembali mengingatkan “Lihat kurikulum, bagaimana bebannya, substansinya apakah relevan. Bahwa guru tidak boleh mendikte, menindas, menekan. Harus ada ruang untuk anak berkreasi, bertanya, mencoba, keliru sehingga bisa menjadi kreatif. Kreatifitas itu jauh lebih penting daripada rote memorization. Tidak menjadi bebek yang mengikut kata gurunya. Itu yang menyebabkan generasi Indonesia tertinggal.”

Inilah persoalan mendasar yang terjadi di negara Indonesia versi Haidar Bagir. Sekolah merasa ketinggalan lantas ikut dalam lari sprint peningkatan kualitas Pendidikan. Akhirnya berlari sipat kuping kalau kata orang Jawa tapi yang harusnya lari ke utara malah sekolah lari ke selatan. Akhirnya yang terjadi justru sebaliknya. Harusnya cepat sampai ke tujuan justru makin jauh dari tujuan. Kalau tidak dibenahi akhirnya sekolah menjadi kehilangan relevansinya dan menjadi tidak penting.

“Pemerintah sudah berbuat sangat banyak dalam upaya memperbaiki Pendidikan tapi memang tidak mudah karena jumlah sekolah yang banyak, kualitas guru yang harus ditingkatkan, sarana prasarana yang harus dibenahi. Tapi yang ingin saya tekankan, arah atau falsafahnya harus benar. Selalu fokuskan perhatian pada seberapa relevan sistim sekolah kepada kebutuhan anak. Tujuan Pendidikan bukan kesuksesan tapi kebahagiaan, baik kebahagiaan bagi individu maupun masyarakat.” tutup Haidar.

Imron Mahmud, mahasiswa Magister Pendidikan Islam Program Pascasarjana UMSurabaya mengaminkan perkataan Haidar dalam kolom komentar yang diunggah oleh akun YouTube M Arfan Mu’ammar, “Benar kata Prof Haidar Bagir. Pada umumnya persekolahan di negeri kita memang menjadikan anak didiknya sebagai celengan. Suatu yang murah harganya dan untuk menyimpan uang receh atau juga sebagai bebek yang hanya bisa membebek apa yang dikatakan oleh gurunya tanpa memiliki kreatifitas dan imajinasi untuk mengkontruksi pengetahuan yang dia dapatkan.” (Kiki Cahya Muslimah)